Rabu, 10 Oktober 2012

Hukum Asuransi Jiwa

Industri asuransi di Tanah Air tumbuh semakin pesat. Total pendapatan industri asuransi pada kuartal III 2009 mencapai nilai Rp 69,9 triliun. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya hanya Rp 36,6 triliun. Pada 2008 total yang diasuransikan mencapai Rp 1.130 triliun. Pada 2010, industri asuransi di Tanah Air pun terus tumbuh hingga kini. Industri asuransi di Indonesia menawarkan beragam produk, salah satunya adalah asuransi jiwa. Lalu bagaimana sebenarnya hukum asuransi jiwa menurut Islam? Ternyata terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum asuransi jiwa di kalangan para ulama di Tanah Air. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah dua kali menetapkan fatwa tentang asuransi jiwa. Pertama, ulama NU menetapkan fatwa tersebut dalam Muktamar NU ke-14 di Magelang pada 1 Juli 1939. Dalam fatwanya, ulama NU menetapkan, mengansuransikan jiwa atau yang lainnya di kantor asuransi itu hukumnya haram, karena termasuk judi. Sebagai dasarnya, para ulama NU mengutip keterangan dari risalah Syekh Bakhit Mufti Mesir dalam majalah Nurul Islam Nomor 6 jilid I: ''Adapun asuransi jiwa, maka ia jauh dari akal sehat dan menimbulkan kekaguman yang hebat. Maka tidak ada perusakan yang mampu memperpanjang umur dan menjauhkan takdir, ia hanya memberi iming-iming dengan keamanan serupa dengan yang dilakukan oleh para Dajjal.'' Fatwa serupa juga ditetapkan ulama NU dalam Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya, Jawa Timur pada 19 maret 1957. Fatwa kedua tentang asuransi jiwa itu ditetapkan setelah NU Cabang Pekalongan mempertanyakan kembali status hukum asuransi. ''Majelis Musyawarah memutuskan seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni mengansuransikan jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena termasuk judi,'' demikian bunyi fatwa itu. Ulama NU mendasarkan keputusannya berdasarkan Ahkamul Fukaha II soal nomor 256, majalah Nurul Islam nomor IV halaman 367, serta kitab “Al-Nahdlatul Islamiyah” halaman 471 dan 472. ''Adapun asuransi harta kekayaan, maka cabangnya banyak sekali, dan sekali kita berbicara satu cabang saja yaitu asuransi rumah... Asuransi ini disepakati merupakan transaksi judi. Ia menyerupai pembelian kupon 'Ya Nashib', seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan.” Berbeda dengan fatwa ulama NU, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) membolehkan asuransi, asal sesuai syariah. Dalam Fatwa DSN No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah ditetapkan; Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.